Rabu, 08 Desember 2010

Tokoh dibalik Kemajuan Sidenreng Rappang

H  Andi Sapada Mappangile (1960 – 1966)
Berawal dari A Sapada, bupati kepala daerah pertama yang sukses menahkodai Sidenreng Rappang dalam kurung waktu Enam tahun, terhitung dari tahun 1960-1966. Kendatipun dikenal berdarah biru dari cucu Raja Rappang dan Raja Sidenreng, A Sapada tetaplah berjiwa nasionalis. A Sapada malah sukses meniti karir di dunia militer dengan pangkat Letnan Satu.
A Sapada juga disebut-sebut sebagai sosok yang sukses menanam benih-benih pemba-ngunan di Sidenreng Rappang. Betapa tidak, sebagi bupati pertama di era yang serba kacau, otomatis Sapada haya bermodalkan semangat. Belum ada fasilitas apa-apa. Bolehlah disebut A Sapada bertolak dari nol. Kekacauan akibat gangguan gerombolan, masih terjadi dimana-mana. Praktis kesempatan untuk melakukan pembenahan selalu terganggu. Bahkan untuk berkantor saja, sapada harus rela menggunakan bekas gudang padi. Belum lagi kas yang masih kosong. Tapi, dalam kondisi seperti itu, sapada tetaplah maju.



H Arifin Nu’mang (1966 – 1978)
Awal bangkitnya orde baru, nahkoda Sidenreng  Rappang harus berganti. Saat itu, dipegang oleh H Arifin Nu’mang. Tepatnya mulai tahun 1966-1978. Sosok Arifin dikenal sebagai keluarga pejuang. Ayahnya bernama La Nu’mang, adalah seorang penasehat kelaska-ran Ganggawa yang menghembuskan nafas terakhirnya di ujung senapan Westerling.
Arifin kemudian dikenal sukses menyeim-bangkan roda pembangunan yang menitik beratkan pada sector pertanian. Tradisi tudang sipulung dikenal sebagai senjata Arifin dalam memajukan sector pertanian dengan keberhasilannya menerap-kan pola bertani yang menggunakan pendekatan modern. Pola itu pulalah yang berhasil menghantarkan Sidenreng Rappang pada posisi puncak produsen padi di Sulawesi Selatan dengan sebutan Lappo Ase.



H Opu Sidik (1978 – 1988)
Pasca Arifin Nu’mang, lagi-lagi Sidenreng Rappang beruntung. Sebab penggantinya juga tatkala hebatnya, H Opu Sidiq. Kader militer ini bahkan menahko-dai  Sidenreng Rappang hingga 2 periode, yakni 1978-1983. Dan 1983-1988. Opu Sidiq sangat popular hingga kalangan bawah, dia merakyat dimana-mana. Orang banyak menyebutnya sebagai bupati murah senyum.



HM  Yunus Bandu (1988 – 1993)
Masa 10 tahun menjabat bupati mengha-ruskan Opu Sidik untuk melepaskan kekua-saannya ke penggantinya, HM Yunus Bandu. Terhitung sejak tahun 1988-1993. Dia menitik beratkan pembangunan yang bersendikan kebersamaan dan disiplin tinggi, terus dipupuk sehingga masyarakat terus berpar-tisipasi tanpa merasa dipaksakan.




Drs A  Salipolo Palaloi (1993 – 1998)
Usai jabatan Yunus, nahkoda kemudian dipegang oleh birokrat, Drs H Salipolo Palaloi. Dia dipercaya menjadi Bupati Sidenreng Rappang tahun 1993-1998. Gaya kepemimpinan sipil Salipolo tetap menggunakan kebijaksanaan berkesinambu-ngan. Di era Salipolo ini pulalah penghargaan akan kesuksesan di dalam bangun daerah di sematkan Prasapya Purna Karya Nugraha.



HS Parawansa, SH (1998 – 2003)
Bersamaan runtuhnya orde baru, muncul pula pemimpin baru, kali ini dipegang oleh A Sunde Parawansa, SH. Sosok kelahiran Pangkajene tahun 1946 dan dilantik sebagai Bupati keenam pada tanggal 14 Desember 1998 ini dikenal sebagai pengawal biduk reformasi. Pamong yang  merupakan putra asli Sidenreng Rappang dipercaya menahkodai Bumi Nene’ Mallomo sejak tahun 1998-2003.




H Andi Ranggong (2003 – 2008)
Sementara otonomi daerah bergulir, pucuk kepemimpinan pun berganti. Kali ini yang memperoleh amanah adalah putra asli Sidenreng Rappang, HA Ranggong didampingi wakilnya H Musyafir Kelana. Sebelum terpilih menjadi orang nomor satu di Sidrap, Andi Ranggong telah menorehkan banyak jejak pengalaman sebagai seorang birokrat dan politisi.



H Rusdi Masse (2008 – sekarang)
Tahun 2009 lalu, adalah pase yang sangat penting dalam menjembatani era otonomi daerah (Otoda).
Di periode ini, pasangan H Rusdi Masse dan H Dollah Mando berhasil terpilih dengan suara mayoritas melalui pilkada damai.
Tahun pertama (2009) telah dilalui dengan sederet prestasi. Berbagai kebijakan yang pro rakyat terus dikembangkan. Bupati termudah di Indonesia ini gigih mewujudkan Sidrap sebagai pusat agribisnis modern dan lima terbaik dalam pembangunan manusia di Sulsel. “Sukses masyarakat, sukses pemerintah. Mari membangun  daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sidrap,”.

oleh : MUH.YUSUF ALI

SIDRAP KE NKRI

Dalam perjalanannya, Kerajaan Sidenreng dan Rappang mengalami pasang surut pemerintahan, hingga pada Tahun 1906 kedua kerajaan yang ketika itu diperintah La Sadapotto, Addatuang Sidenreng XII sekaligus Arung Rappang XX, akhirnya dipaksa tunduk kepada Kolonial Belanda setelah melalui perlawanan yang sengit. Wilayah Kedua Kerajaan ini kemudian berstatus Distrik dalam Wilayah Onderafdeling Parepare.
Selanjutnya pada Tahun 1917 kedua wilayah tersebut digabung menjadi satu, sebagai bagian dari wilayah pemerintahan Afdeling Parepare yang meliputi :
1. Onderafdeling Sidenreng Rappang
2. Onderafdeling Pinrang
3. Onderafdeling Parepare
4. Onderafdeling Enrekang
5. Onderafdeling Barru
Onderafdeling Sidenreng Rappang di bawah pemerintahan Controleur yang berkedudukan di Rappang, dengan membawahi Wilayah Administrasi Daerah adat yang disebut Regen. Keadaan ini berlangsung hingga masa pendudukan Pemerintahan Jepang yang pada masa itu berada dibawah pengawasan Bunken Kanrikan.
Pada saat pengakuan kedaulatan republik Indonesia oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949, berakhirlah dinasti Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Ketika bumi Indonesia kemudian melepaskan diri dari belenggu penjajah, ketika pekik kemerdekaan menggema di seantero nusantara, kerajaan Sidenreng lebih awal menunjukkan watak nasionalismenya dengan bersedia melepaskan sistem kerajaan mereka. Padahal sistem itu sudah berlangsung lama, sampai 21 kali pergantian pemimpin. Mereka memilih berubah dan menyatu dengan pola ketatanegaraan Indonesia.
Ketika Parepare menjadi Daerah Swatanra Tingkat II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1952, Sidenreng Rappang menjadi kewedanan yang didalamnya terdapat Swapraja Sidenreng dan Swapraja Rappang yang berotonomi sebagai lembaga pemerintahan adat berdasarkan Staatblat 1938 Nomor 529.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi, Kewedanan Sidenreng Rappang yang meliputi Swapraja Sidenreng dan Swapraja Rappang dibentuk menjadi Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang dengan pusat pemerintahannya berkedudukan di Pangkajene Sidenreng yang meliputi 7 (tujuh) wilayah kecamatan masing-masing
1. Kecamatan Dua Pitue
2. Kecamatan Maritengngae
3. Kecamatan Panca Lautang
4. Kecamatan Tellu Limpoe
5. Kecamatan Watang Pulu
6. Kecamatan Panca Rijang
7. Kecamatan Baranti.

Seiring dengan itu pula, terbit pula Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor U.P.7/73-374 tanggal 28 Januari 1960 yang menetapkan ANDI SAPADA  MAPPANGILE sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang yang Pertama. Pada 18 Peberuari 1960, ANDI SAPADA MAPPANGILE kemudian dilantik sebagai BUPATI oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Atas dasar pelantikan Bupati tersebut , maka ditetapkan tanggal 18 Pebruari 1960 sebagai hari jadi daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang diperingati setiap tahunnya. Sejak itu berakhir sudah Pemerintahan Feodal Para Bangsawan To Manurung yang telah berlangsung berabad-abad. Namun yang jauh lebih penting adalah tumbuhnya rasa kebangsaan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki persamaan hak dan derajat.
Sejak terbentuknya hingga kini, Kabupaten Sidenreng Rappang telah dipimpin oleh putra-putra terbaik sebagai berikut :
1. H. Andi Sapada Mappangile (1960 – 1966)
2. H. Arifin Nu’mang (1966 – 1978)
3. H. Opu Sidik (1978 – 1988)
4. H. M. Yunus Bandu (1988 – 1993)
5. Drs. A. Salipolo Palalloi (1993 – 1998)
6. H. S. Parawansa, SH (1998 – 2003)
7. H. Andi Ranggong (2003 – 2008)
8. H. Rusdi Masse (2008 – sekarang)

Sesuai dengan tuntutan perubahan dengan pertimbangan efektifitas pelaksanaan pemerintahan, di era kepemimpinan H. S. PARAWANSA, SH, Ketujuh Kecamatan dimekarkan menjadi sebelas sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang Nomor 10 Tahun 2000 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Kecamatan dan Kelurahan. Masing-masing :
1. Kecamatan Panca Lautang
2. Kecamatan Tellu Limpoe
3. Kecamatan Watang Pulu
4. Kecamatan Maritengngae
5. Kecamatan Baranti
6. Kecamatan Panca Rijang
7. Kecamatan Kulo
8. Kecamatan Sidenreng
9. Kecamatan Pitu Riawa
10. Kecamatan Dua Pitue
11. Kecamatan Pitu Riase.

JEJAK SEJARAH

Dalam buku lontara’ Mula Ri Timpakenna Tana’e Ri Sidenreng halaman 147, dikisahkan tentang seorang raja bernama Sangalla. Ia adalah seorang raja di Tana Toraja. Anaknya ada 9 : La Maddarammeng, La wewanriru, La Togellipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mampasessu, dan La Mappatunru. Sebagai saudara sulung, La Maddaremmeng selalu menekan dan mengintimidasi kedelapan adik-adiknya, bahkan daerah kerajaan adik-adiknya ia rampas semua. Karena semua adiknya tidak tahan lagi dengan perlakuan kakaknya, mereka pun sepakat meninggalkan Tana Toraja. Karena perjalanan yang melelahkan, mereka kehausan lalu mencari jalan ke tepi genangan air di pinggir danau. Namun, danau itu ternyata berada di hutan yang lebat, sehingga sulit bagi mereka untuk mencapainya. Karena harus menembus semak belukar yang lebat, mereka pun Sirenreng-renreng (saling berpegangan tangan). Sesampainya di sana, mereka minum sepuas-puasnya dan duduk beristirahat kemudian mandi. Setelah itu, mereka berdiskusi bertukar pikiran tentang nasib yang mereka jalani. Akhirnya, mereka sepakat untuk bermukim di tempat itu. Di sanalah mereka memulai kehidupan baru untuk bertani, berkebun, menangkap ikan, dan beternak. Semakin hari, pengikut-pengikutnya pun semakin banyak.
Tempat itulah yang kemudian dikenal “Sidenreng“, yang berasal dari kata Sirenreng-renreng mencari jalan ke tepi danau, dan danau itulah yang sekarang dikenal dengan danau Sidenreng. Dari situ, terbentuk kerajaan Sidenreng. Menurut sejarah, Sidenreng Rappang awalnya terdiri dari dua kerajaan, masing-masing Kerajan Sidenreng dan Kerajaan Rappang. Kedua kerajaan ini sangat akrab. Begitu akrabnya, sehingga sulit ditemukan batas pemisah. Bahkan dalam urusan pergantian kursi kerajaan, keduanya dapat salingmengisi. Seringkali pemangku adat Sidenreng justru mengisi kursi kerajaan dengan memilih dari komunitas orang Rappang. Pegitu pula sebaliknya, bila kursi kerajan Rappang kosong, mereka dapat memilih dari kerajaan Sidenreng . Itu pula sebabnya, sulit untuk mencari garis pembeda dari dua kerajaan tersebut. Dialek bahasanya sama, bentuk fisiknya tidak beda, bahasa sehari-harinya juga mirip. Kalaupun ada perbedaan yang menonjol, hanya dari posisi geografisnya saja. Wilayah Rappang menempati posisi sebelah Utara, sedangkan kerajaan Sidenreng berada di bagian Selatan. Kedua kerajaan tersebut masing-masing memiliki sistem pemerintahan sendiri. Di kerajaan Sidenreng kepala pemerintahannya bergelar Addatuang. Pada pemerintahan Addatuang, keputusan berasal dari tiga sumber yaitu, raja, pemangku adab dan rakyat. Sedangkan di Kerajaan Rappang rajanya bergelar Arung Rappang dan menyandarkan sendi pemerintahanya pada aspirasi rakyat. Demokrasi sudah terlaksana pada setiap pengambilan kebijakan.
Versi lainnya menyakini bahwa asal usul raja berasal dari langit yang dikirim ke bumi oleh Dewata SeuwaE, karena itu disebut dengan ManurungngE. Menurut versi ini, Addowang Sidenreng pertama adalah ManurungngE ri Bulu Lowa. Setelah mangkat, ia digantikan oleh anaknya Sukkung Mpulaweng yang kemudian kawin dengan Pawawoi Arung Bacukiki, putri Labanggenge, ManurungngE ri Bacukiki dari perkawinannya dengan Arung Rappang I, We Tipu Linge. We Tipu juga diyakini seorang Manurung yang muncul di Lawaramparang.
Meski memiliki perbedaan, namun kedua versi tersebut menggambarkan pertautan antara Sidenreng dan Rappang sudah ada sejak awal. Itu Sebabnya, kedua kerajaan memiliki hubungan yang sangat erat. Terbukti dengan sumpah kedua kerajaan yang dipegang teguh hingga Addatuang Sidenreng terakhir, yakni: Mate Elei Sidenreng, Mate Arewengngi Rappang (bahasa Bugis), Artinya, Jika Sidenreng mati dipagi hari, sorenya Rappang akan menyusul. Sebuah ikrar solidaritas sehidup semati yang dipegang teguh setiap raja atau arung yang memerintah di kedua kerajaan.
Walau demikian, kedua kerajaan ini juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan. Kerajaan Sidenreng menerapkan sistem yang Top Down yang dalam bahasa Bugis disebut Massorong Pao, sedangkan Rappang justru sudah lebih maju dalam menerapkan Demokrasi dengan menganut sistem Mangelle Pasang (Buttom Up). Namu perbedaan itu tidak memisahkan hubungan keduanya. Malah, pada Tahun 1889, Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang justru diperintah oleh seorang raja bernama Lapanguriseng. Ia menjadi Addatuang X sekaligus Arung Rappang XIX. Hal yang sama juga diteruskan oleh putranya, Lasadapotto, Addatuan Sidenreng XII yang naik tahta menggantikan saudaranya, Sumangerukka, yang tidak memiliki keturunan.